Perencanaan Agregat
Perencanaan
agregat juga dikenal sebagai penjadwalan agregat yaitu suatu pendekatan yang
dilakukan perusahaan untuk menentukan kuantitas dan waktu produksi pada jangka
waktu menengah. Perencanaan agregat dapat digunakan dalam menentukan jalan
terbaik untuk memenuhi permintaan yang diprediksi dengan menyesuaikan nilai
produksi, tingkat tenaga kerja, tingkat persediaan, tingkat tenaga kerja
lembur, tingkat sub kontrak dan variabel lain yang dapat dikendalikan.
Keputusan penjadwalan menyangkut perumusan rencana bulanan dan kuartalan yang
mengutamakan masalah mencocokkan produktifitas dengan permintaan yang
fluktuatif.
Biaya
Agregat
Menurut Sukendar dan Kristomi
(2008), sebagian besar metode perencanaan agregat menentukan suatu rencana yang
minimasi biaya. Jika permintaan diketahui, maka biaya-biaya berikut harus
dipertimbangkan.
1.
Hiring Cost (Ongkos
Penambahan Tenaga Kerja)
Penambahan
tenaga kerja menimbulkan ongkos-ongkos untuk iklan, proses seleksi, dan training. Ongkos training merupakan ongkos yang besar apabila tenaga kerja yang
direkrut adalah tenaga kerja baru yang belum berpengalaman.
2.
Firing Cost (Ongkos
Pemberhentian Tenaga Keja)
Pemberhentian
tenaga kerja biasanya terjadi karena semakin rendahnya permintaan akan produk
yang dihasilkan, sehingga tingkat produksi akan menurun secara drastis ataupun
karena persoalan teknis seperti produktivitas yang menurun, serta faktor yang
ada pada diri tenaga kerja itu sendiri. Pemberhentian ini mengakibatkan
perusahaan harus mengeluarkan uang pesangon bagi karyawan yang di PHK,
menurunkan moral kerja dan produktivitas karyawan yang masih bekerja, dan
tekanan yang bersifat sosial.
3.
Overtime Cost dan
Undertime Cost (Ongkos Lembur dan Ongkos Menganggur)
Penggunaan
waktu lembur bertujuan untuk meningkatkan output
produksi, tetapi konsekuensinya perusahaan harus mengeluarkan ongkos tambahan
lembur yang biasanya 150% dari ongkos kerja regular. Di samping ongkos
tersebut, adanya lembur biasanya akan memperbesar tingkat absen karyawan
dikarenakan faktor kelelahan fisik pekerja. Kebalikan dari kondisi di atas
adalah bila perusahaan mempunyai kelebihan tenaga kerja dibandingkan dengan
jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan untuk kegiatan produksi. Tenaga kerja
berlebih ini suatu saat bisa dialokasikan untuk kegiatan lain yang produktif
meskipun tidak selamanya efektif. Bila tidak dapat dialokasikan yang efektif.
Maka perusahaan dianggap menanggung ongkos menganggur yang besarnya merupakan
perkalian antara jumlah yang tidak terpakai dengan tingkat upah dan tunjangan
lainnya.
4.
Inventory Cost dan
Back Order Cost (Ongkos Persediaan dan Ongkos Kehabisan Persediaan)
Persediaan mempunyai fungsi mengantisipasi timbulnya kenaikan
permintaan pada saat-saat tertentu. Konsekuensi dari kebijakakan perusahaan
adalah timbulnya ongkos penyimpanan (inventory cost dan back
order cost) yang berupa ongkos tertahannya modal, pajak, asuransi,
kerusakan bahan, dan ongkos sewa gudang. Kebalikan dari kondisi di atas,
kebijakkan tidak mengadaaan persediaan. Seolah-olah menguntungkan tetapi
sebenarnya dapat menimbulkan kerugian dalam bentuk ongkos kehabisan persediaan.
Ongkos kehabisan persediaan ini dihitung berdasarkan berapa permintaan yang
datang tetapi tidak dilayani karena barang yang diminta tidak tersedia. Kondisi
ini pada sistem MTO. Akan mengakibatkan jadwal penyerahan order terlambat,
sedangkan pada sistem MTS akan mengakibatkan beralihnya pelanggan ke produk
lain. Kekecewaan pelanggan karena tidak tersedianya barang yang dibutuhkan,
sehingga akan diperhitungkan sebagai kerugian bagi perusahaan, dimana kerugian
tersebut akan dikelompokan sebagai ongkos sebagai ongkos kehabisan persediaan.
Ini sama nilainya dengan pemesanan kembali bila konsumen masih bersedia menunggu.
5.
Subcontract (Ongkos
Subkontrak)
Pada saat permintaan melebihi
kemampuan kapasitas reguler, biasanya perusahaan men-subkontrak kelebihan
permintaan yang tidak bisa ditanganinya sendiri kepada perusahaan lain.
Konsekuensinya dari kebijakan ini adalah timbulnya ongkos subkontrak, dimana biasanya
ongkos mensubkontrak ini menjadi lebih mahal dibandingkan memproduksi sendiri
dan adanya risiko terjadinya keterlambatan penyerahan dari kontraktor.
Strategi Agregat
Menurut
(Sule,2008), Terdapat tiga strategi dasar dalam perencanaan agregat berdasarkan
trade off antara biaya yang berkaitan
dengan kapasitas produksi, biaya inventori dan biaya backlog, yaitu:
1.
Level
Strategy (Level
Production)
Dalam strategi ini, perusahaan
memiliki kapasitas produksi yang terbatas dan jumlah tenaga kerja yang tetap.
Jumlah produksi bersifat tetap dan inventori yang timbul dapat digunakan untuk
memenuhi kelebihan permintaan produk pada periode tertentu.
2.
Chase
Strategy (Chase Demand)
Kapasitas dan jumlah produksi yang
ditentukan memiliki variabilitas yang sesuai variabilitas jumlah permintaan
produk pada setiap periode. Strategi ini digunakan untuk meminimalkan dan
menstabilkan level inventori.
3.
Linear
Programming
Strategi ini merupakan kombinasi
antara level strategy dan chase strategy. Pemrograman linier (linear programming) merupakan salah satu
teknik riset operasi yang mampu menyelesaikan masalah optimasi sejak
diperkenalkan di akhir dasawarasa 1940-an. Teknik pemrograman linier memberikan
analisa pasca-optimum dan analisis parametrik yang sistematis untuk
memungkinkan pengambilan keputusan. Pemrograman dimulai dengan formulasi umum
permasalahan pemrograman linier, formulasi umum tersebut terdiri dari fungsi tujuan
yang akan dicari solusi optimalnya baik itu dalam memaksimumkan maupun
meminimumkan berdasarkan ketentuan yang tersedia yang dirumuskan dalam fungsi
pembatas.
Misalnya sebuah perusahaan memiliki kapasitas
produksi yang cukup, kemudian utilitas fasilitas produksi dijadikan acuan dalam
penentuan perencanaan agregat. Dalam kasus ini jumlah pekerja bersifat tetap,
namun jam kerja setiap pekerja memiliki variabilitas yang disesuaikan dengan
level permintaan produk.
EmoticonEmoticon